09 Februari 2009

Sembilan Pedoman Berpolitik Warga NU

PENGANTAR

Para kiai dalam acara Silaturahmi Nasional Ulama NU yang digelar di Pondok Pesantren Edi Mancoro, Tuntang, Semarang, Senin (12/1) lalu mengingatkan para kader NU yang terjun dalam bidang politik untuk mematuhi sembilan pedoman berpolitik warga NU.

Para ulama menyoroti ulah sebagian warga NU yang terjun ke politik praktis yang dalam praktik tindakannya justru melenceng dari cita-cita NU. “Kami sudah berkali-kali mengingatkan kepada warga NU yang berpolitik itu. Namun, mereka langgar juga. Memang tidak ada sanksinya secara tegas. NU itu bukan negara sehingga jelas tidak memiliki polisi. Sanksinya hanya sanksi moral,” kata KH Musthofa Bisri (Gus Mus) membacakan hasil silaturrahmi.

Meski pelanggaran itu selalu terulang setiap menjelang pemilu, kata kiai asal Rembang itu, para ulama juga senantiasa mengingatkan para warga NU yang terjun ke politik agar selalu mentaati pedoman berpolitik yang berisi sembilan butir sesuai hasil Muktamar XVIII di Yogyakarta.

Pertemuan itu dihadiri belasan kiai sepuh karismatik dari beberapa daerah, seperti KH Munif Zuhri (Demak), KH Dimyati Rois (Kendal), KH Mahfudz Ridwan (Salatiga), KH Masruri Mughni (Brebes), KH Azhari Abta (Yogya), KH Muchlas Dimyati, KH Thantowi Musyaddad (Garut), KH Aziz Mansyur (Jombang), KH Miftachul Akhyar (Surabaya), dan KH Sadid Jauhari (Jember).

Sembilan butir Pedoman Berpolitik Warga NU yang dicetuskan dalam Muktamar NU XVIII di Krapyak Yogyakarta tahun 1989:

1. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945;

2. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integritas bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan di akhirat;

3. Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama;

4. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi Persatuan Indonesia, ber-Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dan ber-Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

5. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil, sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama;

6. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlaq al karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah Waljamaah;

7. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama, dengan dalih apa pun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan;

8. Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu’ dan saling menghargai satu sama lain, sehingga di dalam berpolitik itu tetap terjaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama;

9. Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyatukan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan.

Kedudukan Dan Peran GP Ansor

Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) berkedudukan di Ibukota Negara RI Jakarta dalam sejarahnya merupakan kelanjutan dari organisasi Ansoru Nahdlatul Oelama (ANO) yang didirikan di tengah-tengah pelaksaan Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi Jawa Timur, pada 10 Muharram 1353 Hijriyah atau bertepatan dengan 24 April 1934. Karenanya, keberadaan GP Ansor tidak terlepas dan menjadi bagian integral Nahdlatul Ulama (NU), sebagi salah satu Badan Otonom (Banom) yang memiliki tugas untuk mengorganisir kaum muda NU.

Posisi yang demikian menjadikan GP Ansor mempunyai dua peran sekaligus yang memiliki ruang lingkup gerak yang berbeda. Pada tataran sebagai ormas pemuda yang keberadaannya dijamin UU No. 8 Tahun 1985 tentang Keormasan, GP Ansor memiliki kemandirian, keleluasaan, dan kebebasan dalam mengaktualisasikan visi dan misinya, orientasi, program serta kegiatannya. Namun di sisi lain, sebagai salah satu Banom NU, GP Ansor pada beberapa aspek mempunyai kewajiban hukum dan moral untuk terikat kepada ketentuan organisasi NU.

Dalam perjalanan perannya, selama ini GP Ansor telah mampu mensinergikan kedua posisi dan peran tersebut secara dinamis, proposional dan produktif